Tag

,

Cerpen Aril Andika Virgiawan
(Republika, 09 Oktober 2011)

Lama aku mengamati gerakgeriknya. Lama aku memperhatikan bagaimana perempuan itu berjalan dengan pelan seolah tak kuasa menyangga tubuhnya. Lama aku memikirkan apakah sesuatu yang akan aku lakukan ini benar atau tidak. Ada seberkas rasa bersalah yang membuncah dalam dada. Tapi, bayangan ibu yang telah renta terus membayang di kepala.

Hari ini tiga hari menjelang Lebaran, hari suci di mana hampir separuh penduduk negara ini pulang ke kampung halaman. Pasar semakin ramai, kebanyakan dipenuhi ibu-ibu yang belanja baju baru atau kue Lebaran. Termasuk ibu yang satu ini. Penampilannya sama seperti ibu lainnya, baju kurung berkerudung dan jalan yang agak terbungkuk. Dia sedang berhenti di sebuah kios pakaian, memilah pakaian dan sesekali menanyakan harga. Aku tak memedulikan apa yang sedang dia lakukan, tetapi dompetnya menyembul dari tas usang yang dibawanya.

Kemarin aku menemui ibuku terbaring di tempat tidur. Badannya demam. Mungkin Ibu kelelahan karena beberapa hari harus mencuci di rumah-rumah tetangga kami untuk menambah penghasilan dan membayar sewa kamar. Kami mengontrak sepetak kamar kontrakan di daerah Menteng Atas, dua ratus ribu sebulan. Bayaran ibu dan bayaranku sebagai penjaga warung kopi benar-benar pas untuk membayar sewa kamar dan makan seadanya setiap hari.

Sakitnya ibu menjelang Lebaran mem – buat hatiku makin sedih. Ibu berkata kalau dia tidak apa-apa, tapi aku sebagai anak merasa kurang berbakti sampai ibuku sakit seperti ini. Lalu malamnya, saat aku menyuapi ibu makan, ada sedikit kalimat yang ibu katakan kepadaku.

“Ibu ingin punya baju baru di lebaran ini.” Tanganku membeku. “Sejak bapakmu meninggal enam tahun yang lalu, ibu nggak pernah lagi punya baju baru. Dulu kan bapakmu sering belikan ibu baju waktu lebaran gini. Ibu kangen masa-masa itu, Nak.”

Bibirku bergetar menahan perasaan sedih yang tiba-tiba menyesak. Aku bangkit dan membiarkan piring berisi nasi itu tergeletak. Aku berlari keluar, air mataku menderas. Aku merasa berdosa. Sangat berdosa karena aku merasa kurang merawat ibu. Aku yakin bukan maksud ibu untuk meminta macam-macam kepadaku, tapi kata-kata ibu terasa seperti lecutan cambuk bagiku. Malam itu aku tidur di pangkalan ojek dekat rumahku. Aku tak punya muka bertemu ibu.

●●●
Dan, siang ini aku akan melaksanakan niatku. Demi ibu. Aku hanya ingin membahagiakan ibu. Salah atau tidak, dosa atau tidaknya aku, aku yakin Tuhan Maha Tahu. Setelah memastikan tidak terlalu banyak orang di antara aku dan targetku, aku mulai mendekat. Jantungku seperti melompat- lompat dalam dadaku. Ini pertama kalinya aku melakukan hal ini. Tuhan, maafkan aku!

Setengah berlari aku menyambar dompet yang menyembul itu. Hal berikutnya yang membayangi otakku adalah berlari. Berlari. Aku harus berlari karena ini masalah hidup atau mati. Setelah agak jauh baru aku dengar sesayup suara yang berteriak parau, “Copet! Copet!” Aku tak peduli. Aku berlari. Berlari. Bayangan ibu membayangiku.

Aku berlari. Orang-orang menoleh ke arahku, tapi aku terlalu cepat berlari. Bayangan ibu memberi kekuatan kepadaku. Berlari. Riuh rendah suara orang meneriakiku tak kuhiraukan lagi. Berlari. Bayangan senyum ibu mendapat baju baru terus berkelebat di kepalaku. Berlari. Aku tak tahu bagaimana nasib ibu tadi dan aku tidak peduli. Aku terus berlari. Ada secuil rasa bersalah yang membesar dalam hati seperti kertas yang disulut api. Berlari. Air mata bercampur keringat di pipi. Aku berlari menyusuri gang-gang sempit, menerobos kerumunan orang, dan melompati kursi-kursi. Berlari. Berlari hingga tak tahu ke mana lagi. Berlari hingga tak ingat mana kanan mana kiri. Pokoknya berlari. Berlari atau mati!

Aku sampai di luar pasar. Sesaat aku limbung. Sesaat aku bingung. Rasa bersalah itu seolah mencengkeram otakku tiba-tiba dan membutakan semua. Aku menoleh ke sana ke mari, tak peduli orang-orang menatapku dengan aneh. Pandanganku tertuju pada sebuah jalan kecil di antara sebuah lapak dan pagar pembatas. Tanpa berpikir panjang aku berlari di sepanjang lorong itu, tak peduli bagaimanapun beceknya dan bagaimanapun baunya.

Aku seperti hilang arah. Sepanjang aku berlari hanya ada seng yang mengapit kedua sisiku. Semua terlihat sama. Semua berbau sama. Aku tengadah ke langit, matahari di atas kepala. Ini di mana? Ini di mana? Tak ada lagi suara-suara. Aku tersadar. Dompet kecil itu masih dalam genggaman. Kuteruskan pelarian. Dalam sekejap aku sampai di dekat rumah. Lorong itu seperti menjadi jalan pintas yang disediakan Tuhan bagiku. Lorong itu seperti ajaib, menyembul di antara rapatnya dinding bata rumah-rumah.

Dalam hati aku memuji Tuhan. Dalam hati aku mengingat ibu. Dalam hati aku tak ingat betapa terkutuknya aku.

Begitu aku menginjakkan kaki di rumah, pusing menyergapku. Aku terduduk di atas tempat tidur ibu. Dunia serasa berputar dan napasku memburu. Dompet yang tadi kuambil kupeluk erat-erat agar tak hilang. Nanti sore ibu akan kubelikan baju baru.

Ibu? Ibu? Mengapa Ibu tak ada di sini? Sementara aku tak peduli. Pusing ini segera melemparkanku ke alam mimpi.

●●●
Aku tersentak bangun. Keringat dingin bercucuran di pelipisku. Badanku gemetar dan udara menyesak dalam dadaku. Aku seperti terbangun dari sebuah mimpi yang panjang sekali. Mimpi yang aneh. Mimpi yang melelahkan. Aku hendak mengusap keringatku saat aku sadar ada sesuatu di tanganku. Dompet kecil warna biru. Aku membukanya. Ada beberapa lembar lima puluh ribu. Serasa Tuhan sedang menatapku.

Berhasil, pikirku dalam hati.

Aku bangkit hendak keluar dari rumah, mungkin sekalian membeli baju. Langkahku terhenti saat pintu berayun membuka. Ibu masuk dengan mata sayu dan mendung menggayuti kalbu. Begitu melihatku, rona kegembiraan meruap dan senyum merekah di wajah Ibu. Serta merta beliau memelukku.

“Alhamdulillah, Nak, akhirnya kau pulang juga. Ibu sempat khawatir kemarin malam kau tak pulang. Kau sehat-sehat saja, Nak?” Ibu tak hentinya mengucap syukur. Air matanya mengalir. Hatiku mencelos.

“Aku sehat, Bu.” Kusembunyikan dompet yang kugenggam di sakuku.

“Allah Maha Besar, Nak. Bukan saja kamu kembali, tadi pagi ibu mendapat THR dari tetangga kita. Tadinya ibu ingin membelikanmu baju, tapi sepertinya belum rezeki kita. Tadi ada yang mencopet ibu di pasar saat akan membelikanmu baju untuk lebaran nanti. Tak apalah, asal kamu kembali.” Jantungku seolah berhenti. “Mencopet Ibu?”

“Iya, anak muda seumuranmu sepertinya. Mungkin dia butuh uang untuk Lebaran juga, seperti kita. Akhirnya ibu ikhlaskan saja untuk dia karena ibu yakin Allah akan menggantinya. Semoga kamu tidak menirunya.”

Aku tak punya muka di hadapan ibu yang begitu mulia. Aku mengeluarkan dompet itu dan menyerahkannya kepada ibu. Ibu membisu.

Aku bersujud. Air mataku menderas di telapak kaki ibu.

“Kamu?”

Aku merasakan air mata ibu jatuh di pelipisku.

Jakarta, 27 September 2010, 21:00

Penulis adalah mahasiswa Universitas Bakrie 2009, semester 4. Tinggal di Jakarta. Beberapa karyanya dimuat di sejumlah media. Ini adalah salah satu karyanya untuk pembaca Republika.